Sinopsis novel Lembah Hijau


Lembah Hijau
(Nursjamsu)

          Diusianya yang masih 12 tahun, Ujang harus hidup sendiri. Ibu dan ayahnya telah meninggal. Ujang hanya punya pekarang, kambingnya ‘Si Putih’, dan dua ayamya ‘Si Bintik-Bintik’. Meski ia yatim piatu, ia tetap bersekolah seperti nasihat ibunya, walaupun Pak Mamat mengejeknya. Selain sekolah, ia juga merumput untuk kambingnya juga kambing Pak Wira untuk mendapatkan uang guna menyambung hidup. Tapi, ia berhenti merumput untuk kambingnya Pak Wira, karena Pak Wira tidak membayar upahnya lagi.
            Semakin hari, uang Ujang semakin habis. Lalu, ia melihat buah nangka yang ada dibelakang pondoknya yang hampir masak. Ia berfikir akan menjual buah itu ketika sudah masak. Tapi, ketika sudah matang, buah itu hilang dicuri orang. Kesedihannya belum hilang saat Pak Mamat mengajaknya bekerjasama. Pak Mamat ingin menanami tanah Ujang dengan kacang tanah dan hasilnya dibagi dua. Ujang setuju dan untuk menyambung hidupnya sebelum kacang tanah siap panen, ia menjual ayamnya Si Bintik-bintik. Selain itu, dia juga bekerja di pasar sebagai kuli angkut. Tapi, setiap penghasilannya selalu dibagi dua dengan preman pasar yang selalu mengancamnya.
            Kacang tanah sudah siap panen. Ujang sempat bertanya akan harga kacang itu kepada sang pemborong. Ia hitung-hitung uang yang akan diterimanya cukup untuk hidup dan untuk membayar sekolahnya. Tapi, ternyata Pak Mamat melakukan kecurangan dalam membagi hasilnya. Hari berikutnya, kambingnya dicuri oleh orang yang telah membeli kacang tanahnya. Ujang sangat terpukul dan kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang. Ia merasa tidak ada lagi orang yang baik di dunia ini. Akhirnya, ia memutuskan pergi ke Jakarta untuk mencari orang baik. Ia menumpang truk yang akan pergi ke Jakarta dengan membawa bekalnya seadanya. Sesampainya di Jakarta, ia hanya berjalan mengikuti hatinya hingga ia sampai di depan sebuah rumah. Tiba-tiba ada tukang becak yang berhenti dan minum dari guci yang ada di depan rumah itu. Melihat itu semua, Ujang menganggap bahwa pemilik rumah itu baik, ternyata setelah ia bertemu dengan pemilik rumah prasangkanya salah.
Ujang memutuskan pergi ke kali untuk mandi, tapi karena airnya keruh, ia mengurungkan niatnya. Perlahan, air matanya menetes bersama air hujan yang membasahi tubuhnya. Dari bawah jembatan, ada suara yang memanggilnya untuk berteduh. Ujang menghampiri suara itu. Ia disambut oleh seorang wanita. Ujang mulai nyaman ketika ia tidur bersama wanita itu. Ia merasa mendapat kasih sayang dari seorang ibu. Tapi, lagi-lagi kepercayaan itu hancur. Ketika ia membuka matanya, wanita itu telah hilang beserta bekalnya yang ia bawa dari kampung. Ujang pergi dan sampai di depan sebuah Rumah Yatim Piatu. Ia merasa mendapat apa ynag ia cari selama ini. Ternyata tidak.
Ia keluar dari Rumah Piatu itu dan bertemu dengan Pak Arif. Seorang guru yang tinggal bersama anaknya, Iwan. Ujang menceritakan semua kisahnya kepada Pak Arif. tentang ketidakpercayaannya lagi pada manusia. Pak Arif memberi nasihat kepada Ujang untuk tidak menghakimi orang hanya dengan satu  bukti saja dan Ujang menerima nasihat itu. Selama satu tahun Ujang bersama Pak Arif, hingga ia bertemu dengan Ibu Marni. Wanita yang telah mencuri uangnya saat di kolong jembatan. Ibu Marni memberi penjelasan atas kejadian itu dan mengembalikan semua uang Ujang yang telah berbunga menjadi banyak karena Ibu Marni sangat menyesal atas kejadian itu. Ibu Marni juga mengangkat Ujang menjadi anaknya.
Saat liburan sekolah, Ujang diajak berlibur ke pondoknya oleh Ibu Marni beserta Iwan. Saat itulah semua prasangka Ujang tentang keburukan orang-orang kampungnya hilang. Pak Mamat yang dulu mencuranginya mengaku salah dan mengembalikan uang Ujang. Begitupun Pak Pak Wira mengakui kesalahannya. Sedangkan preman pasar yang telah mengambil setengah dari hasil kerjanya, kini telah di penjara. Ternyata semua nasihat Pak Arif benar. Itulah yang dirasakan Ujang. Kini ia lebih ringan menjalani hari-harinya.

Komentar:

Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari novel ini. Ujang yang tak pernah putus asa menyambung hidupnya, meski ia selalu saja ditipu oleh orang-orang sekitarnya. Pak Arif juga mengajarkan kepada kita untuk tidak menghakimi orang lain hanya dengan satu bukti saja. Dia mengajari kita untuk melihat dari sudut pandang orang yang bersalah agar kita dengan mudah dapat memaafkan kesalahan mereka. Setiap manusia mempunyai sisi baik dan sisi buruk. Jadi, kita harus melihat dari kedua sisi, jangan hanya dari satu sisi agar kita dapat menjalani hidup ini dengan baik. Novel ini juga memberituhu kita bahwa setiap perbuatan kita pasti akan ada balasannya. Entah itu di dunia atau di akhirat.

1 komentar:

Bunda Kenan mengatakan...

Ini bacaanku pas jaman SD dulu
Tpi sekarang bukunya udah ilang
Hukzz..jadi kangen ujang

Posting Komentar

Copyright 2009 Pokem's Blog. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates