Wujud Karya Sastra
Sastra tidak pernah jauh dari
kehidupan kita. Dia begitu dekat dengan nafas kita sehari-hari, karena cerita
yang diangkat tidak pernah jauh dari kehidupan masyarakat. Novel, cerpen, dan
puisi merupakan wujud karya sastra yang tertulis dan dapat dinikmati sebagai
pelipur maupun sebagai petunjuk hidup, sesuai fungsi karya sastra. Novel dan
cerpen merupakan karya sastra yang berbentuk naratif. Yang dimaksud dengan teks
naratif ialah semua teks-teks yang tidak bersifat dialog dan yang isinya
merupakan suatu kisah sejarah, dan deretan peristiwa. Bersamaan dengan kisah
dan deretan peristiwa itu hadir cerita (Luxemburg, 1984). Sedangkan puisi ialah
teks-teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Selain
itu, teks puisi bercirikan penyajian tipografik tertentu (Luxemburg, 1984).
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa perbedaan
novel, cerpen, dan puisi dapat dilihat dari segi tipografinya. Novel merupakan karya
naratif yang berbentuk buku. Isi dari novel hampir sama dengan cerpen, yakni
berupa cerita imajinatif. Namun dalam novel, cerita itu memiliki konflik yang
lebih dari satu dan mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam.
Sedangkan cerpen merupakan cerita imajinatif yang menceritakan satu peristiwa dan hanya memiliki
satu konflik, sehingga cerpen biasanya berupa lembaran. Namun, tidak jarang
cerpen dibukukan ke dalam sebuah antologi cerpen. Berbeda dengan novel dan
cerpen, puisi sangat mencolok dengan penampilan tipografinya. Puisi biasanya
berbentuk larik-larik (bait) yang tidak memenuhi semua sisi halaman. Tipografi
yang mencolok dapat kita lihat dari kutipan puisi berikut:
Tuhanku
Berdekatkankah kita
Sedang rasa teramat jauh
Tapi berjauhankah kita
Sedang rasa begini dekat
Seperti langit dan warna biru
Seperti sepi menyeru
....
(Emha Ainun
Nadjib,”5”,99 untuk Tuhan,1983)
Dari
kutipan tersebut, sangat jelas terlihat tipografi puisi yang sangat jauh
berbeda dari tipografi cerita naratif, yakni novel dan cerpen. Namun terkadang
ada beberapa puisi yang dibuat berbentuk naratif. Hal ini bisa saja terjadi,
karena puisi pada zaman sekarang ini tidak lagi terikat oleh aturan. Puisi
dibuat sesuai keinginan penyair. Pada
saat sekarang ini pembuatan puisi memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya
kepada penyair untuk berkreasi. Tidak seperti puisi pada zaman dahulu yang
masih terikat oleh aturan-aturan yang harus ditaati.
Karya sastra bukan hanya sekedar cerita fiktif untuk
menghibur para pembaca atau hanya sekedar rangkaian kata-kata yang dibuat tanpa
tujuan. Dalam karya sastra selalu terdapat pelajaran hidup, tersurat maupun
tidak tersurat. Dalam pembuatan novel, kisah yang diangkat tidak pernah jauh
dari kehidupan masyarakat, sehingga pesan-pesan moral dan pelajaran hidup yang disisipkan
ke dalam sebuah novel, dapat kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Saat membaca novel, bisa juga dibilang bahwa kita sedang
belajar sebuah kebudayaan. Karena dalam pembuatan novel, secara sadar atau
tidak, pengarang telah membawa
suatu kebudayaan ke dalam karangannya. Novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir
Alisjahbana misalnya. Novel ini sangat
kental dengan kebudayaan daerah asal pengarangnya, yakni kebudayaan Minangkabau.
Novel “Layar Terkembang” menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat Minangkabau pada zaman
dahulu yang masih kaku
dengan
segala peraturan adat
Minangkabau. Contoh lain dapat kita temukan pada
novel “Nyoman Sulastri” karya Gerson Poyk. Novel ini juga sangat kental akan adat Bali. Dengan mengenal kebudayaan-kebudayaan
Indonesia, diharapkan generasi bangsa dapat menjaga dan melestarikan kebudayaan
yang ada.
Tidak hanya itu saja, novel juga digunakan sebagai pencatat
sejarah oleh beberapa penulis. Seperti yang telah dilakukan oleh Ratna
Indraswari Ibrahim dalam novelnya “1998”. Novel ini menceritakan keadaan
Indonesia pada tahun 1998 yang ramai akan unjuk rasa, menuntut Soeharto turun
dari jabatan presidennya. Tahun 1998
merupakan tahun yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tahun itu, pemerintahan orde baru yang otoriter runtuh dengan
ditandainya lengsernya Soeharto. Pada tahun itu, juga terdapat peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti
yang sampai saat ini dikenal sebagai tragedi Trisakti dan masih diperingati
hingga sekarang. Semua peristiwa itu dituliskan ke dalam sebuah novel oleh
Ratna Indraswari Ibrahim. Contoh lain dapat kita
lihat dalam novel “Hulubalang Raja”. Novel ini
menceritakan
tentang konflik
antara raja-raja yang terjadi di pesisir Minangkabau pada abad ke-17 yang
melibatkan kompeni Belanda dan Aceh.
Sebuah
sejarah yang diangkat ke dalam sebuah
novel akan lebih mudah dipahami dan mudah diingat oleh para pembaca daripada
sejarah yang dituliskan dalam sebuah buku sejarah. Sejarah lebih dapat dimaknai jika dituliskan dalam
bentuk novel, karena novel merupakan sebuah karya sastra yang dibuat untuk
menyentuh nurani manusia. Dengan begitu, segala rasa dapat dibangun menggunakan
kisah-kisah yang dituliskan dalam sebuah novel, salah satunya adalah rasa Nasionalisme.
0 komentar:
Posting Komentar