KASUSASTRAAN INDONESIA DI MASA JEPANG
Dengan pendudukan Jepang
selama tiga setengah tahun, jiwa kita sudah menjadi masak untuk revolusi. Menafikkan
kesusastraan di zaman Jepang adalah menafikam suatu wajah kehidupan dalam
perjalanannya membentuk sejarah. Buah kasusastraan adalah lukisan jiwa dan
lukisan sekitar dipandang dari suatu kesadaran. Di zaman Jepang, kebebasan
berfikir tidak ada. Jadi, sajak-sajak pada masa Jepang berisi cita-cita yang
menimbulkan cinta tanah air bukan sajak-sajak yang mengenai diri sendiri.
Umar Ismail adalah
satu-satunya penyair yang paling tegas suaranya, yakin, dan teguh dalam tujuan
prang Asia Raya. Dia memegang prinsip I’art
pour I’art, seni untuk seni yang ia kutip dari sebuah buku filsafat
kesenian. I’art pour I’art baginya
berarti satu kemewahan yang menandakan tidak ada keinsafan. Anggapan tersebut
selalu ia pertahankan melalui karya-karyanya.
Suatu ketika pernah
penyair-penyair dan pengarang-pengarang kita memuji dan memuja Jepang dari
hati. Biarpun orang lain mencemooh mereka dan duduk di pinggir jalan hanya
untuk melihat orang berbaris dengan tegap dan penuh semangat. Orang boleh
mengejek lembaga yang bernama Pusat Kebudayaan Cap Nippon dimana segala hasil
kesenian dipesan dan dibuat. Tapi tidak bisa disangkal bahwa hasil lembaga itu
berguna juga waktu itu dan bagi kemudian hari untuk menyatukan semangat. Di
sanalah seniman-seniman muda kita yang pekerjaannya sama dengan romusha jiwa
dan pikiran, disiksa dan dimasak batinnya untuk revolusi yang akan datang.
Meskipun masih muda, Rosihan
Anwar tidak termakan oleh propaganda Jepang. Dinamika perubahan sekitarnya
tidak diikutinya. Hak tersebut disebabkan karena dinamika pikirannya yang
mencari jalan sendiri. Perjalanan jiwanya terlihat jelas pada tiga buah
sajakny, yaitu Kissah di Waktu Pagi,
Lukisan dan Manusia Baru, dan Tentara
Pembela Tanah Air.
Di zaman Jepang, orang tidak
boleh merintih terang-terangan di surat kabar, majalah, dan rapat-rapat
bagaimanapun seninya kesedihan itu. Tapi pujangga tetaplah pujangga, tidak
mengindahkan ciptaannya dibaca atau tidak baginya menyanyi karena hendak
menyanyi dan orang lain tidak usah mendengarnya. Di Tepi Kawah karya Bakti Siregar merupakan salah satu cerpen
pelarian yang sangat indah. Diidealisir di situ kehidupan terpencil di lereng
gunung penuh bahagia namun juga tidak lepas dari penderitaan dan kesedihan.
Sajak-sajak dan cerita-cerita pelarian ini lambat laun semakin berkurang dan
kemudian menghilang. Digantikan dengan sajak-sajak semangat pengobar keberanian
untuk berperang dan mempersembahkan tenaga untuk menguatkan garis belakang
perang.
Kumpulan sajak Kersik Berlada karya Bung Usman
memperlihatkan pandangan hidup yang sinis, jiwa mengejek pahit nasib sendiri
yang berserah. Sajak-sajak seperti ini hanya kelihatan pada Bung Usman.
Mengejek kegilaan sekelilingnya, orang-orang berebut pangkat, nasib jelek orang
Indonesia dan diri sendiri, ketololan orang-orang sekitar, dll.
Salah satu cara untuk
melepaskan diri dari sensor Jepang ialah dengan jalan simbolik. Simbolik yang
halus dan indah terdapat pada beberapa karangan karangan Maria Amin.
Sindirian-sindiran diselipkannya dengan halus dalam perbandingan simbolik yang
kadang-kadang jauh dari penjelmaan hidup masyarakat yang disindirnya.
Seorang penyair putri yang
tetap memegang pribadinya ialah Nursjamsu. Sajak-sajaknya yang bersifat
keseorangan, mengharukan karena kujujuran yang putih bersih. Selain itu,
penyair yang paling individualis di masa Jepang adalah Chairil Anwar. Dia
membawa udara segar bagi kasusastraan Indonesia dengan sajak-sajaknya yang
berisi dan bentuknya revolusioner. Terlihat bahwa dalam sajak-sajak dan
pandangan hidupnya terpengaruh oleh penyair-penyair Belanda Marsman, Ter Braak,
Du Perron, beberapa penyair angkatan sesudah perang dunia pertama di Belanda.
Dalam kasusatraan Indonesia di zaman Jepang terdapat beberapa nama
penyair, seperti Rosihan Anwar, Usman Ismail SMA, BH Lubis, Amal Hamzah,
Chairil Anwar, Nursjamsu, Anas Ma’ruf, Maria Amin, Bung Usman, dan Idrus.
0 komentar:
Posting Komentar