Amir
Hamzah
Raja
Penyair Pujangga Baru
Amir Hamzah dilahirkan tanggal 28 Februari
1911 dari kalangan bangsawan di Tanjungpura Langkat, Sumatra Utara. Ia adalah
putra Tengku Bendahara Paduka Raja Kerajaan Langkat. Tidak ada yang tahu kapan
Amir Hamzah meninggal. Adalah suatu sindiran bahwa penyair yang demikian perasa dibunuh dengan kekerasan
senjata di masa pergolakan revolusi sosial di Sumatra Utara. Diangkut oleh
pemuda tanggal 3 Maret malam bersama para keluarga Sultan dan orang-orang
besarnya, ia kemudian dipancung tanpa periksa di Kuala Bingai, sepuluh kilo
meter dari Binjai, pada 19 Maret 1946.
Chairil Anwar menyebut puisi Amir Hamzah duistere poezie yang artinya puisi
gelap, karena sukar dimengerti. Kesukaran ini disebabkan karena Amir Hamzah
mengambil perbandingan kepada sejarah nabi-nabi yang tidak begitu dikenal oleh
generasi modern, kecuali kaum Surau. Ditambah lagi dengan kiasan-kiasan yang
diambil dari kasusastraan mistis-filosofis. Selain itu, bahasanya banyak
mengambil dari kata-kata daerah dan kata-kata lama yang tidak hidup lagi.
Dalam “Nyanyi Sunyi” Amir Hamzah dengan
murninya menerangkan sajak-sajak yang selain oleh “kemerdekaan penyair” memberi
gaya baru pada bahasa Indonesia. Kalimat-kalimat yang padat dalam
seruan-seruannya, tajam dalam kependekannya. Sehingga, susunan kata-kata Amir
bisa dikatakan destructive terhadap
bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru.
Amir Hamzah tidak banyak menulis sajak selama
hidupnya. Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi masing-masing terdiri dari
25 sajak dan di luar itu ada 13 sajak dan prosa berirama dalam Pujangga Baru
yang belum dimuat dalam dua buku kumpulan sajaknya itu. Pun prosa berupa
sketsa, tinjauan dan kritik yang ditulisnya hanya ada 12, antaranya studi
panjang berkepala “Kasusastraan” dalam Pujangga Baru dan ceramahnya yang
dibukukan, Sastra Melayu Lama dan Raja-rajanya. Tulisan berupa berupa
terjemahan pun bisa dihitung, yaitu 76 sajak dalam Setanggi Timur dan Bhagawad
Gita dalam Pujangga Baru. Dengan singkat peninggalannya ialah: sajak asli
50, sajak terjemahan 77, prosa liris 18, prosa liris terjemahan 1, sehingga
jadi berjumlah 160 tulisan dalam masa kegiatan 14 tahun (1932-1946).
Dibandingkan dengan Alisyahbana, Armin Pane, atau pun Sanusi Pane, Amir
bukanlah seorang pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakyat, baik dalam puisi
maupun prosanya. Ia adalah seorang perasa dan seorang pengangum, jiwanya mudah
tergetar oleh keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh sajaknya
bernafaskan kasih kepada kampung halaman, kepada kembang, dan kepada kekasih.
Dia merindu tak habis-habisnya pada zaman yang silam, pada bahagia, pada “hidup
bertemu tuju”. Tak satu pun sajak perjuangan, sajak ajakan membangkit tenaga,
seperti begitu gemuruh kita dengar dari penyair-penyair Pujangga Baru yang
lain. Tapi laguan alamnya adalah peresapan yang mesra.
0 komentar:
Posting Komentar