Sejarah
Sastra Indonesia
Berspektif Gender
A.
Perkembangan Fiksi Dan Isu Kesetaraan Gender Dalam Fiksi Indonesia
Istilah fiksi
(fiction) dalam teori sastra mengacu pada jenis karya sastra yang unsur naratif
(cerita)nya dominan. Fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu cerita pendek (cerpen)
dan novel. Perbedaan kedua jenis karya sastra tersebut secara sederhana dapat
dilihat dari panjang cerita.
Ciri-ciri cerpen:
- Panjang cerita berkisar antara seribu sampai lima ribu kata
- Plot hanya diarahkan pada peristiwa tunggal
- Karakter tokoh langsung ditunjukkan
- Bersifat compression(pemadatan), concentration (pemusatan), intensity (pendalaman).
- Mencapai keutuhan cerita secara eksklusi
Ciri-ciri novel:
- Panjang cerita berkisar antara empat ribu atau lebih kata.
- Bersifat expands (meluas)
- Menitikberatkan pada complexity
- Mencapai keutuhan cerita secara inklusi
Menurut catatan
Koorie Layun Rampan, sampai tahun 1996, hanya ada 45 orang novelis perempuan
dari 5.506 pengarang. Hal ini tentu saja berhubungan dengan latar belakang
sosiohistoris masyarakat Indonesia yang berkultur patriarki. Karena kegiatan
tulis menulis berhubungan erat dengan kecendikiaan yang harus dicapai melalui
pendidikan.
Marco Kartodikromo
telah menerbitkan Student Hijo, sebuah
novel bertema perjuangan kaum pribumi untuk mendapatkan pendidikan dan
pekerjaan yang setara dengan kaum colonial. Novel ini dapat dikatakan sebagai
pelopor novel Indonesia yang lahir bersamaan dengan tumbuhnya semangat
nasionalisme Indonesia. Ideologi nasionalisme yang antikolonialisme dalam novel
Student HIjo menyebabkan novel ini
dianggap bacaan liar yang bertendensi politik oleh colonial Belanda. Untuk
membendung perkembangan karya-karya sastra seperti Student Hijo yang dianggap membahayakan stabilitas pemerintahan
colonial, maka dibentuk dan didirikan Komisi Bacaan Rakyat dan Balai Pustaka.
Walaupun
diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka, novel-novel karya pengarang pribumi
seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya,
Salah Asuhan, Salah Pilih, Kalau TAk Untung,dan Kehilangan Mestika memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
emansipasi masyarakat pada zamannya. Bahkan dari beberapa novel tersebut, Salah Asuhan menunjukkan adanya ideologi
nasionalisme yang dikemas secara simbolis.
Terdapat beberapa
penulis perempuan ditengah dominasi penulis laki-laki pada masa colonial
Belanda, seperti: Arti Parbani (Widyawati, 1948), S,Rubiah (Kejatuhan dan Hati,
1950), Zubaedah Subro (Pujani. 1951), Nursiah Dahlan (Arni, 1952), dan
Johanisun Iljas (Angigio Murni, 1956). Namun, kebanyakan dari mereka tidak
melanjutkan karirnya, Pada awal 1965 muncul novelis yang sangat produktif,
yaitu Nh.Dini. Hampir semua karyanya bertema kemandirian perempuan yang
menglirkan semangat feminisme. Selanjutnya muncul Marianne Katoppo pada akhir
tahun 1970-an dengan beberapa karyanya. Beliau dipilih menjadi pemenang SEA
Writer Award 1982, sebagai wanita pertama yang meraih hadiah tersebut. Novelis
berikutnya adalah Mustika Heliati (1951) dengan karya-karyanya yang bertema misteri.
Berikut pengarang-pengarang
perempuan yang berkarya pada tahun 1960 sampai 1970-an, namun tidak produktif
beserta karyanya:
- Matiah Madjiah dengan karyanya Kasih di Medan Perang
- Enny Sumargo dengan karyanya Sekeping Hati Perempuan
- Luwarsih Pringgoadisurjo dengan karyanya Menyongsong Badai
- Totilawati Tjitrawasita dengan karyanya Hadiah Ulang Tahun
- Suwarsih Djojopuspito dengan karyanya Manusia Bebas
Berikut novelis perempuan yang
produktif beserta karyanya:
- Lilimunir C dengan karyanya Anak Rantau
- Titis Basino dengan karyanya Di Bumi Aku Bersua, Di Langit Aku bertemu
- Ayu Utami (Tokoh pembaharu dalam penulisan novel Indonesia mutakhir) dengan karyanya Saman
- Dee (Dewi Lestari) dengan karyanya Supernova I: Ksatria Putrid dan Bintang
- Nova Riyanti Yusuf dengan karyanya Mahadewa Mahadewi
- Djenar Maesa Ayu dengan karyanya Nayla
- Eliza V. Handayani dengan karyanya Area X: Himne Angkasa Raya (Science Fiction)
- Herlinatiens dengan karyanya Garis Tepi Seorang Lesbian
- Abidah El Khalieqy dengan karyanya Perempuan Berkalung Sorban
- Ratih Kumala dengan karyanya Tabularasa
- Dewi Sartika dengan karyanya Dadaisme
- Oka Rusmini dengan karyanya Tarian Bumi
- Fira Basuki dengan karyanya Jendela-jendela, Atap, Pintu (Trilogi)
- Naning Pranoto dengan karyanya Wajah Sebuah Vagina
- Ani Sekarningsih dengan karyanya Namaku Teweraut
Selain novelis,
beberapa dari mereka juga menulis cerpen, seperti Sa’adah Alim, Nh.Dini, dan
Soewarsih Djojopuspito.
Walaupun
keberadaan perempuan dalam penulisan fiksi Indonesia cukup intens, namun kreativitas
para pengarang laki-laki cenderung lebih banyak mendapatkan perhatian daripada
pengarang perempuan. Menurut Wahyudi, para pengarang perempuan cenderung
dianggap hanya mampu menghasilkan karya-karya popular yang berbicara mengenai
lingkup domestic dan tidak lebih sekedar menawarkan “pelarian” atau mimpi-mimpi
sejenak dari rutinitas keseharian yang menghasilkan sejumlah fiksi.
Beberapa
isu gender yang diangkat dalam sebuah karya:
a. Novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli mengkritik tradisi yang memingit
perempuan yang sudah berusia 7 atau 8 tahun, yang banyak diberlakukan dalam
masyarakat tradisional.
b. Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis
mengkritisi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan dalam gagasan, belum
dalam perbuatan.
c. Novel Kalau Tak Untung karya Selasih
menampilkan isu gender yang berhubungan dengan pentingnya pendidikan dan
masuknya perempuan di sektor publik.
d. Novel Kehilangan Mestika karya Hamidah
mengemukakan pentingnya pendidikan dan pekerjaan formal di sektor publik.
e. Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir
Alisyahbana menyuarakan semangat emansipasi perempuan.
f. Novel Manusia Bebas karya Soewarsih
Djojopuspito menggambarkan sosok seorang guru perempuan yang menjadi pejuang
emansipasi perempuan.
g. Novel Pada Sebuah Kapal karya Nh.Dini
mengangkat tentang relasi gender dalam konteks perkawinan antarbangsa,
khususnya antara perempuan Indonesia dengan laki-laki Perancis.
h. Novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer
mengangkat praktik perbudakan perempuan pada masa kolonial Belanda dalam bentuk
“Nyai”.
i. Novel Gadis Pantai karya Pramudya Ananta Toer
menggambarkan perempuan kelas bawah dari keluarga nelayan miskin ditindas
sebagai gundik oleh seorang laki-laki bangsawan pribumi.
j. Novel Burung-burung Manyar karya Y.B Mangunwibawamengungkapkan
bahwa perempuan yang hidup dalam kultur patriarki pada era prakemerdekaan dan
revolusi, telah memperoleh pendidikan dan memiliki peran penting dalam sector
publik.
k. Novel Saman dan Larung karya Ayu Utami menggambarkan tokoh perempuan yang
merupakan representasi dari sosok perempuan yang menunjukkan gejala
pengingkaran terhadap kultur patriarki dalam masyarakat Indonesia.
l. Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El-Khalieqy
menggambarkan ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan dalam
konteks masyarakat pesantren.
m. Novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira
Ajidarma mengkritisi dominasi patriarki dalam relasi suami-istri dan ayah-anak
perempuan.
n. Novel Putri karya Putu Wijaya mengangkat isu
gender yang berhubungan dengan peran perempuan sebagai agen penting perubahan
sosial masyarakat Bali yang memegang teguh adat dan tradisi.
Berikut beberapa cerpen yang memuat isu gender:
a. Cerpen Monumen karya
Nh.Dini mendukung kaum masuknya kaum perempuan dalam berbagai sektor publik.
b. Cerpen Kecubung Pengasihan dan
Rintrik karya Danarto menggambarkan
perempuan dalam pengembaraan spiritualnya, dalam upaya memahami dan menyatu
dengan Tuhan.
c. Cerpen Gadis-gadis Pekerja karya
Sirikit Syah menggambarkan kesuksesan dan perjuangan perempuan.
d. Cerpen Jaring-jaring Merah karya
Helvy Tiana Rosa menggambarkan perempuan sebagai korban Daerah Operasi Militer
di Aceh.
e. Cerpen Lintah, Melukis Jendela,
dan Namanya… karya Djenar Maesa
Ayu menggambarkan penderitaan anak perempuan akibat ulah orang tuanya.
f. Cerpen Tragedi Asih Istrinya
Sukab karya Seno Gumira Ajidarma menggambarkan perempuan sebagai korban.
g. Cerpen Pelajaran Mengarang karya
Seno Gumira Ajidarma menceritakan marginalisasi perempuan, khususnya kekerasan
terhadap anak perempuan.
B. Perkembangan
Drama/Teater Indonesia dan Isu Kesetaraan Gender
A. Pengertian
Drama/Teater dan Sejarah Perkembangannya
Drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang artinya berbuat, bertindak,
sedangkan teater berasal dari kata theatron
yang artinya tempat pertunjukkan. Dalam drama terdapat teks samping (neben text) dan dialog (haup text) karena memiliki kemungkinan
untuk dipentaskan. Waluyo (2002: 75-80) membuat perkembangan teatre Indonesia
menggunakan kelompok teater, yaitu (1) Abdul Muluk, (2) Komedi Stambul, (3)
Dardanella, (4) Maya, (5) Cine Drama Institut, (6) Zaman Kemajuan Dunia Teater
yang terdiri atas: (1) Bengkel Teater Rendra, (2) Teater Populer, (3) Teater
Kecil, (4) Teater Koma, (5) Teater Mandiri, (6) Bengkel Muda Surabaya, (7)
kelompok teater lainnya dan dua sekolah tinggi drama (ASDRAFI dan ATNI).
Menurut Sumardjo (1992:102), sejarah sastra
modern Indonesia terbagi dalam empat periode, yaitu:
a. Masa Perintisan
Teater Modern. Adappun ciri-cirinya
sebagai berikut:
1.
Pertunjukkan dilakukan di tempat khusus,
2.
Penonton harus membayar,
3.
Fungsinya unutk hiburan,
4.
Unsur ceritanya berkaitan dengan peristiwa sezaman,
5.
Ungkapan bentuk teater sudah memakai idiom-idiom
modern,
6.
Memakai bahasa Melayu pasaran,
7. Adanya
pegangan cerita tertulis.
Masa perintisan teater modern terbagi dalam tiga masa:
1. Masa Teater Bangsawan→ Tahun 1885, Mamak Pushi
membentuk rombongan bernama Pushi Indera
Bangsawan of Penang yang pentas di rumah-rumah bangsawan yang punya kenduri.
2. Masa Komedi Stamboel→ Komedi Stamboel didirikan sekitar tahun 1891 oleh
August Mahieu (keturunan Indo-Perancis).
3. Masa Teater Opera→ Sekitar tahun 1908 muncul Opera Derma yang pentas untuk kegiatan amal, sehingga para
pemainnya kebanyakan para amatur, bukan professional.
b. Masa Kebangkitan
Teater Modern. Masa ini terbagi dalam tiga
golongan, yaitu:
1. Masa Miss Riboets’s
Orion. Orion didirikan tahun 1925
oleh T.D. Tio Jr (Tio Tik Djien). Nama Miss Riboet’s Orion sendiri merupakan
gabungan nama dari kelompok ini dan bintang primadonya, yakni Miss Riboet.
2. Masa The Malay Opera
“Dardanella”. Didirikan pada 21 Juni 1962 ole A.Piedro di Sidoarjo. Kelompok ini terobsesi menyaingi kepopuleran Orion hingga membawanya ke luar negeri.
3. Awal Teater Modern. Mulai
berkembang sejak akhir abad XIX hingga sebelum masa pendudukan Jepang. Pada
masa ini banyak muncul kelompok teater amatir yang tidak hanya sekedar mencari
penghasilan dari pementasannya.
c. Masa
Perkembangan Teater Modern. Masa ini terbagi dalam tiga waktu, yakni:
1. Teater Zaman Jepang→
ditandai dengan adanya campur tangan Jepang terhadap bidang kesenian termasuk
dalam perteateran.
2. Teater Indonesia tahun
1950-an→ pada masa ini muncul zaman emas teater yang pertama. Usmar Ismail dan
Dr. Abu Hanifah membentuk kelompok teater Maya (avant-garde theatre Indonesia). Usmar Ismail juga mendirikan ATNI
(Akademi Teater Nasional Indonesia).
3. Teater Indonesia tahun
1960-an→ muncul ASDRAFI di Yogyakarta dan banyak kelompok teater lainnya di
berbagai daerah. Masa inni mendapat terror Lekra.
d. Teater Indonesia
Mutakhir
Dimulai sejak tahun 1965, ditandai dengan
Dewan Kesenian Jakarta. Masa ini banyak menampilkan lakon-lakon produksi mereka
sendiri, lakon-lakon tradisional yang dikemas secara baru, naskah-naskah asli
Indonesia maupun naskah-naskah asing.
e. Teater Indonesia
pada Akhir Abad XX
Dari 34 data yang terkumpul,
terdapat 17 naskah terjemahan (saduran atau adaptasi), 13 naskah Indonesia, dan
4 data tentang kegiatan teater.
B. Penulis dan
Pelaku Drama Perempuan (Aktris)
Dalam perkembangan teater
yang lebih awal, nama-nama perempuan tidak muncul. Keberadaanya seolah
tenggelam di balik ketokohn sang pemimpin kelompok teater yang menjadi
“ngabehi” atau menonjol dalam segala aspek. Dengan kata lain, sebenarnya da sejumlah
tokoh perempuan yang turut meramaikan dunia perteateran Indonesia. Biasanya
tokoh-tokoh perempuan ini menjadi primadona panggung, sehingga sering kali nama
kelompok teaternya menyatu dengan nama sang bintang seperti Miss Riboets Orion atau Miss Tjitjih. Berikut merupakan para
perempuan yang “ditiadakan” karena posisi mereka sebagai istri pra pemimpin
kelompok teater:
1. Dewi Dja. Perempuan kelahiran Yogya
yang kemudian menjadi ikon kelompok Teater Dardanella pmpinan A.Pedro seakan
teggelam di bawah nayang-bayang suaminya.
2. Miss Tjijih. Seorang
bintang panggung dari sebuah kelompok teater pada tahun 1920-an yang popular
sebelum masa kemerdekaan. Namanya dijadikan sebagai nama kelompok teater yang
didirikan oleh Abu Bakar Bafaqih. Peranan Tjijih seperti umumnya kelompok
teater yang dipimpin oleh seorang lelaki, berada di bawah nama Abu Bakar
Bafaqih.
3. Fifi Young. Nama
Fifi Young atau Tan Kiem Nio selain dikenal dalam dunia teater Indonesia juga
dikenal dalam dunia perfilman. Dia segenerasi dengan Dewi Dja dan Miss Tjijih.
Istri Nyoo Cheong Seng ini pernah tergabung dalam kelompok Miss Robeot’s Orion
dan kemudian bergabung dengan Dardanella.
4. Ratna Riantiarno. Ratna Riantiarno atau Ratna Madjid termasuk tokoh teater yang lebih
kemudian. Kiprahnya dalam teater jauh setelah Miss Robeot, Dewi Dja, Miss
Tjijih, ataupun Fifi Young. Namanya berada pada baying-bayang suaminya, Nano
Riantiarno.
5. Reni Djayusman. Ia
lebih dikenal sebagai penyanyi dengan dandanan yang cukup heboh. Ketika ia
menjadi istri Putu Wijaya, ia turut dalam kelompok Teater Mandiri yang
didirikan dan diketuai oleh Putu Wijaya sediri. Ia sempat menjadi pemimpin
kelompok teater, yaitu Teater Yuka.
6. Ratna Sarumpaet. Merupakan
pemimpin kelompok Teater Satu Merah Panggung. Naskah-naskah yag dipilihnya
sering bersinggungan dengan hal-hal sensitif dalam kehidupan politik Indonesia,
seperti: monolog Marsinah Menggugat, Luka Serambi Mekah, dan anak-anak Kegelapan.
7. Kelompok Teater Para Pelacur Surabaya. Ada fenomena menarik dalam sejarah perteateran
di Indonesia, khususnya dari sudut pandang feminisme. Kelompok Teater Budaya
dari Surabaya adalah kelompok teater ang dimaksud. Anggota kelompok ini terdiri
atas para pelacur dari kompleks Bangunsari dan Tambak Sari. Kelompok teater ini
mementaskan sejumlah pementasan tentang kehidupan keseharian mereka sebagai
PSK.
C. Pementasan
Teater Terkait Tema Perempuan
Dalam dunia perteateran sering mengangkat
tema-tema tertentu, khususnya terkait tema feminisme. Sejumlah hal yang
dimaksud yaitu tiga pementasan yang berbeda tetapi ketiganya terjalin atas
kesamaan tema terkaid dengan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan.
Ketiga pementasan yang dimaksud, yaitu:
1. Vagina Monologues karya Eve Ensler asal Amerika. Drama yang ditulis
tahun 1996 ini pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada awal Maret 2002.
Meski dalam penyajiannya menggunakan kalimat-kalimat yang mengundang tawa,
namun sesungguhnya drama ini adalah sebuah gugatan lantang atas kekerasan
terhadap perempuan. Hingga mendatangkan Obie Award bagi Ensler dan belakangan
menjadi pementasan rutin di Off Broadway.
2. Perempuan di Titik Nol karya Nawal Saadawi asal Mesir. Drama ini
pernah dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta pada April 2002.
Mengisahkan pelacur yang memiliki prinsip. Suasana yang tertangkap adalah elegi
seorang perempuan malang, bukannya pergulatan perempuan yang memiliki tubuhnya
sendiri. Cerita ini diangkat dari kisah nyata seorang pelacur yang diwawancarai
Sawal Saadawi.
3. Nyai Ontosoroh, transformasi dari bagian novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Drama ini pernah
dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada Agustus 2007. Ini sebuah pementasan
yang ingin menonjolkan sosok tegar penuh martabat Nyai Ontosoroh, seorang
gundik pribumi dalam tritalogi Pulau Buru
Pram.
4. Isu Gender dalam Sejarah Drama Indonesia
Perempuan sebagai tema
sentral drama Indonesia bukanlah hal yang baru. Bahkan sebelum masuknya
pengaruh modernism, termasuk dalam drama, teater-teater tradisional banyak
menampilkan sosok perempuan atau hal-hal yang terkait dengan perempuan. Cerita Panji yang popular dalam cerita Jawa
Pertengahan melibatkan tokoh perempuan seperti Candra Kirana yang dalam
petualangannya berusaha mencari pasangannya, Panji Asmoro Bangun. Cerita Ande-ande Lumut dan cerita sejenisnya
juga menampilkan sosok-sosok perempuan dalam “memperebutkan laki-laki”. Judul-judul
drama lain yang bercerita tentang perempuan masih sangat banyak, seperti: Ken Arok dan Ken Dedes,Sangkuriang Dayang
Sumbi, Dewi Masyitoh, Nyonya dan Nyonya, Romeo dan Juliet, Nona Maryam, dan
masih banyak lagi drama-drama yang mengangkat kisah perempuan.
C. Perkembangan Puisi Indonesia dan Isu Kesetaraan Gender
Menurut Shanon Ahmad (Pradopo, 2005:7), puisi
merupakan emosi, imajinasi, pemikiran ide, nada, irama, kesan pancaindra,
susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
Dalam perkembangannya, puisi semakin sulit dijelaskan hanya dengan satu sudut
pandang tertentu. Berikut ini merupakan adanya berbagai ragam puisi:
a. Puisi Bebas adalah puisi
yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah puisi. Sering disebut puisi konkret,
b. Puisi Dramatik yakni puisi dengan unsur-unsur drama yang menonjol,
c. Puisi Nonens adalah puisi
jenaka yang tidak berarti apa-apa, atau tidak masuk akal yang dikemas dalam
bahasa yang serius dan formal,
d. Puisi Pengakuan adalah
puisi yang berisi gagasan, pikiran, dan pengakuan penyair tentang segala
pengalamanya,
e. Puisi Ratapan adalah
puisi yang berisi keluh kesah, rindu-dendam, atau rasa duka karena ditinggal
pergi,
f. Puisi Visual adalah perkembangan lebih
lanjut atas puisi konkret, semula hanya permainan huruf belaka, tetapi juga
foto dan benda lain.
Puisi modern Indonesia, dibatasi pada puisi
asli berbahasa Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia yang beraksara
latin. Sajak “Tanah Air” karya M Yamin (1920) merupakan tonggak lahirnya puisi
Indonesia modern. Puisi Indonesia modern berkembnag di tahun 1921-an, dengan
beberapa nama penyair yang mengemuka pada saat itu, antara lain M Yamin, Sanusi
Pane, dan Rustam Efendi.
Berikut beberapa penyair
Indonesia dengan gaya kepenulisannya:
No
|
Penyair
|
Gaya Kepenulisan
|
1.
|
Rustam Efendi
|
Lebih berani dalam
melakukan eksperimen estetik
|
2.
|
Sanusi Pane
|
Menulis puisi-puisi yang
bertema percintaan dan nasionalis
|
3.
|
Amir Hamzah
|
Banyak menggunakan
kata-kata lama dari bahasa Melayu, Kawi, atau bahasa daerah Jawa, Sunda,
Melayu
|
4.
|
JE Tatengkeng
|
Masih terpengaruhi puisi
lama, yakni terikat oleh rima akhir dengan bait-bait bersajak
|
5.
|
Chairil Anwar
|
Menggunakan bahasa
sehari-hari yang terkadang spontan dan lugas apa adanya.
|
6.
|
Toto Sudarto
|
Menunjukkan warna yang
beragam dan menampilkan beberapa peristiwa yang sinkronis
|
7.
|
Ajib Rosidi
|
Menunjukkan kesungguhan
dan banyak menggabungkan kisah dan dialog
|
8.
|
Rendra
|
Bahasanya indah, cenderung
romantic, namun mudah dipahami. Adanya pengulangan baik bait maupun baris
|
9.
|
Taufik Ismail
|
Kekuatan puisi terletak
pada daya visual dan puitik dalam pemilihan kata-kata
|
10.
|
Emha Ainun Najib
|
Puisi-puisinya banyak
bernafaskan Islam
|
11.
|
Isma Sawitri
|
Bersifat reportase
|
Berikut beberapa penyair perempuan yang eksis
sejak tahun 1950 hingga sekarang:
a.
Periode 1950-1960-an. Penyair perempuan yang eksis pada periode ini antara
lain S.Rukiah, Walujati, dan St.Nuraini. Kumpulan puisinya yang berjudul Tandus mendapat hadiah sastra nasional
BMKN. Walujati dan St.Nuraini selain aktif menulis puisi, mereka juga menulis
prosa.
b.
Periode 1970-an. Banyak ditemui nama penyair perempuan yang karyanya
ter- publikasikan di media, yang umumnya adalah majalah. Mereka adalah Iswa
Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy Soenharjo, Toety Heraty,
Rayani Sriwidodo, dan Rita Oentoro.
c.
Periode 1980-an. Penyair-penyair pada periode ini sebagian besar
berasal dari pulau Jawa, seperti:
¨
Endang Susanti Rusatamaji. Pendiri komunis Imperium
Sastra Independen (Imsain) dan menjadi ketuanya pada tahun 1997. Gaya
penulisannya ekspresif, banyak berupa renungan atau kontemplatif, serta
menggunakan pilihan kata yang lekat dengan alam, seperti yang terlihat dalam
puisinya yang berjudul “Ziarah Arus Sejarah”.
¨
Abidah el Khaliqy. Ia disebut sebagai penyair
perempuan yang mewakili dunia pesantren. Tulisannya banyak mengupas persoalan
kehidupan termasuk persoalan perempuan dengan memadukan cita rasa religius,
seperti yang terlihat dalam “Prasasti Perkawinan”.
¨
Medy Loekito. Memiliki kesamaan ciri dengan puisi
pendek Jepang atau yang biasa disebut haiku.
Puisi-puisinya banyak menggunakan diksi yang lekat dengan alam, seperti dalam
“Sketsa Malam”.
¨
Dorothea Rosa Herliany. Beberapa kumpulan puisinya
diterjemahkan ke beberapa bahasa, yakni Inggris, Belanda, Perancis, Jerman,
Jepang, Korea, dan Vietnam. Ia juga meraih beberapa penghargaan, di antaranya
dari Pusat Bahasa (2003) dan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI (2004).
Salah satu puisinya adalah “Telegram Gelap Pesetubuhan”.
¨
Oka Rusmini. Mendapatkan penghargaan puisi terbaik Jurnal Puisi. Salah satu antologinya
adalah “Monolog Cerpen”.
Pada akhir periode 1980-an, dunia puisi di
Indonesia diramaikan dengan peluncuran Tonggak,
antologi puisi Indonesia modern yang disunting oleh Linus Suryadi AG.
Keistimewaan Tonggak, yakni (1) tidak
menonjolkan salah satu penyair, (2) tidak membatasi diri pada periode tertentu,
batas geograis tertentu, tema tertentu, maupun peristiwa tertentu, (3) disusun
berdasarkan kelahiran para penyair.
d. Periode 1990
hingga 2000-an.
Penyair perempuan pada periode ini meningkat
oleh beberapa faktor. Pertama, peningkatan
jumlah media publikasi. Kedua, meningkatnya
jumlah penggemar sastra, yang antara lain terwujud dengan menjamurnya sejumlah
komunitas penggiat sastra di berbagai daerah. Ketiga, kesadaran dari kaum perempuan untuk mengekspresikan dan
mengeksistensikan dirinya dengan berkarya. Dunia kepenulisan tidak lagi
dipandang sebagai dunia dunia yang terdominasi kaum pria atau sekadar
eskapisme, tetapi justru sebagai bentuk perjuangan dan kesadaran bagi
perempuan.penyair-penyair perempuan yang muncul pada periode ini:
a. Evi Idawati adalah
penyair, cerpenis, artis sinetron, dan pemain teater. Ia menempuh pendidikan di
Jurusan Teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan. Antologi puisinya yang
diterbitkan Pengantin Sepi (2002) dan
Namaku Sunyi (2005).
b. Dina Oktaviani lahir di Bandar Lampung, 11
Oktober 1985. Sajak-sajaknya pernah dimuat Kompas,
Tempo, Media Indonesia, Republika, Lampung Post, Sumatra Post, dan BlockNot Poetry Jogjakarta. Bukunya yang
telah terbit adalah Biografi Kehilangan (2006).
Berikut para penyair yang berproses kreatif dilingkungan perguruan tinggi:
NO
|
Penyair
|
Universitas
|
Karya
|
1.
|
Fitri Yani
|
FKIP Universitas Lampung
|
Perjalanan Embun
|
2.
|
Komang Ira Puspaningsih
|
Universitas Negeri Yogyakarta
|
Di Stasiun
|
3.
|
Inggit Putria Marga
|
Universitas Lampung
|
Maghrib di Jalan Pualng
|
4.
|
Nana Riskhi Susanti
|
UNNES Semarang
|
Perempuan Kedua
|
5.
|
Nersalya Renata
|
Teater Satu Bandar Lampung
|
Rumah
|
0 komentar:
Posting Komentar