Mozaik Sastra
Indonesia
Dimensi
Sastra dari Pelbagai perspektif
A. Sastra
dan Konteks
Gagasan sastra konstektual pertama kali dicetuskan oleh Arief Budiman.
Tujuannya adalah untuk menyadarkan para penyair dan penulis, bahwa dia itu
punya publik tertentu dalam mencipta. Yang paling penting adalah penyadaran
akan suatu lingkungan di sekitarnya. Kalau manusia itu ingin menjadi total atau
menjadi utuh dalam suatu konteks sosialnya, maka dia harus peka pada masalah
sosialnya. Sastra kontekstual relative menurut ruang dan waktu.
Kelahiran Manikebu adalah akibat kegiatan kesenian Lekra yang radikal.
Yang bertarung pada dasarnya adalah seni universal bourjuis lawan jenis
universal proletar. Menurut Arief Budiman, jika waktu itu Lekra menang, saya
piker filsafat seninya akan menjadi absolut semacam seni universal yang
sekarang. Lekra akan berkiblat ke seni rakyat, bukan bourjuis.dulunya Arief
Budiman dulunya penganut seni universal, tapi berubah ketika menyadari nilai
yang dianut seni universal tidak demokratis. Jadi tak ada kesamaan antara
konstektual tak ada dengan Lekra, sebab seni Lekra berorientasi pada rakyat
dengan dominasi sentral partai (doktrin). Kalau seni konstektual justru ingin
menghilangkan segala dominasi tersebut.
Menurut Agus Noor, Sejarah sastra kita lebih banyak dipengaruhi oleh
pelbagai kepentingan ideologis, politis, dan sosiologis menjadi medan
penafsiran atas beragam catatan yang menarik untuk terus menerus dibuka melalui
perdebatan. Dalam konteks pertumbuhan cerpen Indonesia saat ini, perdebatan itu
menjadi menarik karena melibatkan persoalan ‘senioritas’ yang tidak gampang
untuk dilucuti hipokrisitasnya. Karenanya, seorang penulis sekarang ini tidak
semata- mata berjuang untuk mempublikasikan karya, tetapi juga berusaha untuk
mengatasi dominan pemaknaan yang corak dan pertumbuhannya terkadang banyak
ditentukan oleh institusi sastra dan kritik sastra yang lebih berorientasi pada
‘monumen nama’.
Sejak rezim Soeharto berkuasa pada 1966,
pemerintahnya berusaha dengan segala upaya untuk memisahkan berbagai aspek
kehidupan yang bersentuhan dengan politik. Siapa yang menebar wacana politik
akan berurusan dengan aparatur penguasa. Akibatnya, karya sastra menjauh dari
kehidupan sosial politik. Sastra kita didominasi oleh urusan-urusan psikologis
sosial seperti kesunyian eksistensi, jeritan kerinduan, kegelisahan ruhaniad
dan intellectual game dan seterusnya.
B. Sastra
dan Imajinasi
Imajinasi tak bisa dilepaskan dari karya sastra. Hal-hal yang sublime
hanya dapat diungkap lewat imajinasi. Ungkapan-ungkapan itu bisa berupa simbol-simbol, Umar Yunus dalam Dalam Peristiwa ke Imajinasi menjelaskan, karya sastra harus bisa
bebas dari keterikatan suatu peristiwa. Kemudian, dilanjutkan karya yang kurang
menggunakan unsur imajinasi akan cenderung bersifat stereotype, sedangkan karya yang menggunakan imajinasi semaksimal
mungkin akan mempunyai dunianya sendiri. Ini bisa diterjemahkan bahwa karya
sastra membentuk realitas sendiri.
Realitas dalam karya sastra adalah hasil
imajinasi yang diolah dan diciptakan kembali oleh sastrawan. Dan karya sastra
relijius memang harus mempunyai dimensi transenden dan dimensi sosial. Karena
itu tak tepat dikatakan bahwa karya sastra relijius tak menyentuh kenyataan
sosial manusia. Tapi, karya sastra tak sepenuhnya melukiskan realitas.
Melainkan realitas yang dilihat dari suatu imajinasi atau imajinasi yang
didasarkan pada suatu realitas. Dengan begitu antara realitas dengan imajinasi
sangat berkaitan erat dalam membangun karya sastra.
Antara sastra dan agama ada hubungan sangat
relevan. Ini misalnya terlihat di dalam Al-Quran sendiri yang menggunakan
bahasa sastra, juga pada karya-karya relijius. Dari sudut agama, sastra
dipertanggungjawabkan kehadirannya untuk mengungkapkan hal-hal yang benar
menurut agama dan melarang lahirnya karya sastra yang bertentangan dengan
ajaran-ajaran agama.
Sastrawan dipandang sebagai
kaum terpelajar sekaligus priyayi. Bukan karena profesi kesastrawaannya, tetapi
karena keterpelajarannya. Citra itulah yang melekat pada sastrawan Balai
Pustaka. Namun, memasuki masa Orde Baru citra sastrawan menjadi tak popular dan
memburuk. Pemerintah lebih menekankan prestasi seseorang berdasarkan ukuran
material dan segala yang bersifat fiscal. Sementara, nilai-nilai kejujuran,
moralitas, dan hati nurani dicampakkan. Keadaan itu makin parah dengan dominasi
ABRI yang dibiarkan secara leluasa mamasuki berbagai bidang kehidupan sosial,
politik, dan kenegaraan.
c. Sastra dan
Pluralisme
Menurut Arief Budiman, sastra dalam millennium
ketiga akan terdesak oleh media elektronik. Dewasa ini memang daya tarik media
sangat kuat. Apalagi minat baca masyarakat masih memprihatinkan. Sementara itu,
jumlah penerbitan buku terbatas. Namun, kecenderungan semacam itu, akan segera
berubah dan orang akan semakin meminati bacaan sastrawi. Ada nilai-nilai
artistic tertentu yang hanya bisa diperoleh lewat buku sastra dan tidak mungkin
diperoleh lewat film, sinetron, atau telenovela.
Menurut Jaffe dan Scott
(1968), di dalam membaca karya sastra pembaca akan menemukan nilai-nilai
kemanusiaan. Menurut mereka, fiksi yang paling efektif adalah yang menafsirkan
aspek-aspek kondisi manusia secara efisiendan jujur. Jadi, tema di dalam sebuah
cerita haruslah ditanggapi secara serius, karena sastra yang baik
mengetengahkan kebenaran mengenai sejumlah aspek eksistensi kehidupan manusia.
d. Mozaik Sastra
Indonesia
Puisi adalah hasil dari proses kreatif penyair
melalui penjelajahan empiris, estetis, dan
analis. Ketiga unsur yang melengkapi
kepenyairan itu merupakan bagian dari tugas penyair. Puisi teks baku yang
penciptaannya selalu mengacu kepada apa yang ada. Ia bukan hanya
mengaktualisasikan gagasan yang telah ditulis penyair terdahulu. Ia berpijak
pada persoalan yang terus berkembang.
Puisi-puisi Chairil Anwar mempunyai hubungan
erat dengan bahasa dan masyarakat Minangkabau. Pertama yang paling menonjol
terlihat pada struktur sintaksis bahasa puisinya. Chairil Anwar memakai
struktur sintaksis bahasa Indonesia yang tidak lazim, berupa pembalikan susunan
kata. Kedua, ia memakai gaya bahasa hiperbol. Ketiga, imaji yang ditampilkan
dengan semangat yang bergelora dan terkadang mendayu-dayu. Kedua imaji ini
seolah berada pada dua kutub yang saling berlawanan. Kenyataan ini sekaligus
memperkuat anggapan bahwa akar budaya Minagkabau masih kuat tertanam dalam diri
Chairil Anwar.
Puisi mbeling
sebagai wujud sastra pop nampaknya berbentuk sederhana, baik dari segi
pengucapannya maupun tema yang dipilih. Secara pragmatis puisi semacam ini
memang lebih mudah dipahami pembaca, bahkan mampu mengajak pembaca untuk
berkomunikasi tentang apa saja melalui gelitikan-gelitikan penuh canda dan
kelakar. Sastra pop lebih banyak merebut dimensi ruangtinimbang dimensi waktu,
sehingga sastra pop mempunyai nafas yang pendek. Namun tidak menutup
kemungkinan untuk digandrungi sepanjang waktu.
Cerpen-cerpen Danarto didasarkan atas wawasan
estetik dan pandangan dunia yang sama, yaitu wawasan sastra transenden dan
pandangan dunia dari alam pikiran mistisime Islam (tasawuf), akan tetapi
terdapat beberapa perbedaan yang cukup penting. Perbadaan-perbadaan itu ialah
tekanan cerita, yang menyebabkan timbulnya pergesekan penokohan dan
ancang-ancang cerita. Cerpen-cerpen dalan Godlob
memberikan tekanan pada kerinduan mistis dan tokoh cerita kebanyakan
bukanlah tokoh dunia sehari-hari.
Dalam dunia sastra, mozaik
komunisme digambarkan secara estetis dalam cerpen maupun novel oleh
pengarang-pengarang Indonesia. Sebagai documenter sosial, sebetulnya sastra
juga dapat dijadikan bahan rujukan pendidikan sejarah. Namun tampaknya
sosialisasi sejarah ideologi yang membahayakan kelangsungan persatuan dan
kesatuan bangsa ini belum dilakukan dengan cara yang optimal, termasuk dalam
pengajaran sastra. Akibatnya, masyarakat kurang kita kurang bisa mengetahui
cara kerja komunis membidani anak-anak muda, khususnya yang frustasi untuk
menjadi oposisi dan tampil beda bahkan terkesan radikal.
e. Sastra dan
Saiber
Dunia saiber lahir sabagai dampak perkembangan
teknologi. Sastra masuk ke dunia saiber –pada mulanya- untuk memanfaatkan media
ini sebagai ruang alternatif sosialisasi karya dan pemikiran. Namun, pada
gilirannya melahirkan suatu bentuk ekspresi tersendiri. Ada suatu sentakan
kecil terjadi dalam ruang wacana medium puisi kita terkini dengan hadirnya
budaya saiber yaitu teknologi internet. Lalu dari situ lahirlah terminology
cukup mewah, sastra saiber, sebuah terminology yang masih bernuansa eksklusif
dan inkonvensional dalam wacana sastra kita terkini dan telah mengundang
sejumlah tanggapan atau sikap antusias maupun sinis dari kalangan pengamat
maupun kritikus sastra.
Kebebasan menulis puisi di
internet membuat para penulis puisi yang merasa gagal mempertaruhkan eksistensi
kepenulisannya di media massa cetak melirik dan tergoda internet sebagai sebuah
ruang pelatian bagi eksistensialisasi dirinya secara leluasa tanpa harus
berhadapan dengan jarring birokrasi redaksional apapun. Dampak pelarian para
penulis puisi itu membuat puisi saiber tidak luput dari sekadar menjadi tempat
pembuangan dan mereka itu ikut serta merusak citra puisi saiber di mata public
sastra saiber.
f. Sastra dan
Kreativitas Pengarang.
Menurut kacamata strukturalis, karya sastra
pada hakikatnya adalah karya yang baru bukan sesuatu yang diulang-ulang yang
menampilkan sebuah dunia yang utuh melalui media pembangunan kata yang otonom,
sesuai dengan hokum yang berlaku di dalamnya. Dengan demikian sebuah karya
dapat memberi sesuatu kepada penikmatnya. Sastra adalah sari kehidupan yang
telah dicerna dan kemudian dituangkan ke dalam bentuk yang indah yang sesuai
dengan struktur karya itu sendiri.
Jendela-jendela
karya Fira Basuki merupakan
sebuah karya yang penuh pengharapan. Fira Basuki hadir dengan gaya berani dan
menjanjikan. Oleh karena itu, rasanya sungguh pantas jika ia dijejerkan dengan
nama-nama Ayu Utami, Dewi Lestari, dan Oka Rusmini. Pasalnya bukan sekadar
keberaniannya mengungkapkan hubungan perselingkuhan melainkan juga lantaran
cara bertuturnya yang cerdas dan terkesan sangat bersahaja.
Yang membedakan pengarang dengan profesi
adalah imajinasinya dalam memotret realitas, mendeskripsi sejarah dan mampu
mengekspresikan realitas itu ke dalam estetika yang dibingkai sastra. Rendra
tidak kuliah formal di jurusan pendidikan atau menyandang doktor pendidikan,
namun apa yang disuarakan merupakan bahan pijak sivitas akademika dalam
menegakkan obyektivitas, moral dan kejujuran yang sekarang ini mulai tereduksi
dalam praktik pendidikan.
Puisi sebagai refleksi kreatifitas humaniora,
berarti puisi merupakan seperangkat sikap dan perilaku moral terhadap
sesamanya, sehingga manusia dapat bertindak manusiawi. Humaniora adalah ilmu
pengetahuan yang bertujuan membuat manusia semakin manusiawi atau lebih
berbudaya. Puisi Taufik Ismail dalam Malu
Aku Jadi Orang Indonesia (Majoi) adalah puisi-puisi yang
mencerminkan/merefleksikan humaniora. Kehadiram kumpulan puisi Majoi ini telah menambah kekayaan dunia
sastra Indonesia. Dengan puisi-puisi ini, Taufik mengajak kita untuk melihat
dan merasakan apa yang terjadi di tanah air kita. Bagaimana harus memanusiakan
dirinya, barulah memanusiakan orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar